Tragedi Kanjuruhan 2022
Stadion Kanjuruhan, Malang, Satu Oktober Dua Ribu Dua Puluh Dua, lepas pukul sepuluh malam. Waktu dan tempat yang akan selalu diingat oleh ibu-ibu yang nama anaknya ada di dalam obituari-infografis ini. Anak bujangnya (sebagian anak gadisnya) pamit ke Kanjuruhan untuk mendukung tim kebanggaan. Namun anak mereka tidak pernah kembali.
Sumber dan hak milik gambar: https://twitter.com/korantempo |
Tulisan ini tidak akan menceritakan apa yang terjadi malam itu dan bagaimana kelanjutan pertanggungjawaban orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab. Banyak analisis komprehensif dari media nasional dan internasional yang membahas petaka malam itu. Media sekelas The New York Times adalah salah satunya. Tidak usah terkejut, karena memang skala dari tragedi ini adalah skala dunia. Tragedi Kanjuruhan adalah tragedi di dunia sepak bola modern yang memakan korban jiwa paling besar sejak era internet kiwari ini.
Postingan ini saya tulis sebagai pengingat.
Saya melihat salah satu twit dari Alanda Kariza yang muncul di lini-masa yang mencerminkan salah satu kesedihan dan kekhawatiran yang juga mendalam.
You know what’s the most heartbreaking part? That even after all this, even after all the lives lost, nothing will ever change. The police will remain the same, PSSI will remain the same, those who have business interests (and money) in football will also remain the same. The only things that change are the lives of the victims’ families; and the lost souls that can and will never return. And for what? The need for the police to exercise authority, TV ratings, and money. - Alanda Kariza
You know what’s the most heartbreaking part? That even after all this, even after all the lives lost, nothing will ever change. The police will remain the same, PSSI will remain the same, those who have business interests (and money) in 🇮🇩 football will also remain the same.
— Alanda Kariza (@alandakariza) October 4, 2022
Twit Mbak Alanda itu persis dengan apa yang saya pikirikan. Apalagi jika melihat dengan apa yang terjadi pada korban dunia dari industri sepak bola Indonesia. Untuk menuliskannya saja sudah terlalu banyak. Haringga Sirla contohnya. Di tahun 2022 ini saja sebenarnya pagelaran Liga 1 Indonesia ini sudah memakan korban jiwa. Tapi tidak ada yang berubah. Semua berjalan kembali seperti kala. Tapi tidak dengan keluarga yang ditinggalkan. Begitu juga kejadian hilangnya nyawa lainnya ditangan petugas, terutama dalam kejadian demonstrasi yang juga berhadapan dengan pemuda tanggung. Waktu berlalu dan semuanya tetap berjalan seperti sedia kala, kecuali keluarga yang ditinggalkan.
Apakah tragedi mengerikan ini akan bernasib sama? setahun nanti, apakah sepak bola kita masih seperti ini? permusuhan karna alasan sepele? jadwal yang "membunuh" pemain dan penonton? apakah petugas juga masih dengan ringan tangan? apakah tidak ada hikmah atau ibrah yang dapat kita ambil dari petaka kali ini?
Postingan ini saya tulis sebagai pengingat. Setahun nanti, insyaAllah, saya akan kembali membaca tulisan ini dan menceritakan apakah prasangka Mbak Alinda tadi benar adanya? apakah Saudara-saudara kita yang berpulang di Kanjuruhan hanya diingat sebagai angka?
Semoga postingan saya tahun depat tersebut membantah semua prasangka ini.
Tidak ada komentar: