Keberagaman Indonesia pada PDRI
Terpolarisasi.
Itulah gambaran kondisi masyarakat Indonesia saat ini, meskipun hanya di ruang
maya media sosial. Entah direkayasa atau tidak. Kita bisa bersepakat bahwa
bukti-bukti menunjukan masyarakat kita belum kembali meluruh sejak pemilu lalu.
Untungnya polarisasi tersebut hanya terlihat di dunia maya. Di dunia nyata,
Alhamdulillah, masyarakat kita masih dapat menahan diri untuk tidak menampilkan
polarisasi yang menjurus kriminal.
Padahal sejatinya,
Indonesia dicita-citakan dan dibangun secara bersama-sama oleh semua anak
bangsa dari semua golongan, ras, dan agama. Indonesia juga dipertahankan juga
secara bersama-sama oleh semua anak bangsa dari semua golongan, ras, dan agama
ketika Belanda mencoba menjajah kembali Indonesia.
Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) adalah bukti nyata bahwa keberagaman adalah
corak bangsa kita.
Seperti yang
tercatat dalam buku-buku dan memoar sejarah republik pasca-kemerdekaan, Belanda
kembali ke Indonesia untuk merebut kembali tanah air kita, dan semua
kekayaannya, untuk membiayai negaranya yang porak-poranda karena Perang Dunia
II di daratan Eropa. Secara keji mereka melakukan agresi militer yang merenggut
korban nyawa yang sangat besar. Agresi militer pertama dilakukan pada 21 Juli
hingga 5 agustus tahun 1947 dan berakhir dengan gencatan senjata atas desakan
PBB. Berikutnya Belanda kembali menjalankan Agresi militer mereka pada 19-20
Desember 1948 yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda II.
Pada Agresi Militer Belanda II, Belanda
berhasil merebut ibu kota negara saat itu, Yogyakarta, dan menangkap Presiden
Soekarno, Wakil Presiden M. Hatta, serta beberapa menteri di Kabinet Hatta saat
itu. Belanda berulang kali menyiarkan berita bahwa Republik Indonesia sudah
bubar karena para pemimpinnya, seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir sudah
menyerah dan ditahan.
Tepat sebelum ditangkap, Bung Karno dan
Bung Hatta telah mengirimkan dua telegram yang menjadi penyelamat eksistensi
republik. Telegram pertama ditujukan kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafrudin
Prawiranegara yang sedang berada di Bukit Tinggi. Telegram tersebut kurang
lebih berisi jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya
lagi, Presiden dan Wakil Presiden menguasakan kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara,
Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Republik
Indonesia Darurat di Sumatera
Kemudian sejarah telah mencatat bahwa Mr. Syafrudin
Prawiranegara berhasil membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul
di Halaban, Luhak Lima Puluh Kota, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan
rapat yang dihadiri antara lain oleh Syafruddin Prawiranegara, Mr. T. M.
Hassan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir.
Indratjahja, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Mr. A. Karim, Rusli Rahim
dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi telegram Presiden Soekarno belum diterima
hingga saat itu. Rapat PDRI di Halaban saat itu memutuskan untuk mengangkat Mr.
Syafruddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI merangkap Menteri Pertahanan/
Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad
interim dan beberapa struktur lainnya.
Sementera telegram
kedua ditujukan kepada Menteri Keuangan Alexander Andries Maramis yang sedang
berada di India dalam misi membuka hubungan perdagangan dengan mancanegara
untuk membiayai kehidupan republik serta upaya diplomasi lainnya.
” Kami Presiden
Republik Indonesia memberitahukan, bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember
1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas Ibu Kota Yogyakarta. …
Jika ikhtiar Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat
di Sumatera tidak berhasil, kepada Saudara dikuasakan untuk membentuk exile
government Republik Indonesia di India.”
Setelah berhasil
menyelamatkan umur republik, Mr. Syafruddin Prawiranegara mulai menyusun
pemerintahan darurat yang terkonsolidasi dengan sisa kabinet Hatta sebelumnya
yang ada di Pulau Jawa serta dengan A.A. Maramis yang ada di India. Kemudian
A.A. Maramis diangkat menjadi Menteri Luar Negeri. “Mr Maramis, Menteri
Keuangan di Kabinet Hatta, yang saat ini di New Delhi, telah diangkat menteri
luar negeri oleh Mr Syafrudin Prawiranegara dari pemerintah darurat Republik,”
ungkap harian Belanda, Het Dagblad edisi 24 Januari 1949.
Sejarah kemudian
juga mencatat bahwa kolaborasi aksi diplomatik luar negeri dan perang gerilya
yang dijalankan oleh segenap unsur rakyat, telah memberikan tekanan besar dari
dunia kepada Belanda untuk segera mengakhiri kekejaman tersebut. Mr. A. A.
Maramis yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri PDRI saat itu memainkan peran
vital dan berbuah manis.
Beberapa catatan dari surat kabar luar
negeri berikut menampilkan bagaimana kerja keras Mr. A. A. Maramis dan tim
dalam meyakinkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada dan Belanda
telah berbuat kejahatan perang.
” Alexander
Maramis, Menteri Keuangan Republik Indonesia, mengatakan di Istanbul dalam
perjalanannya ke Delhi bahwa perang gerilya melawan Belanda dapat berlangsung
selama lima tahun meskipun Republik tidak dipersenjatai dengan baik,” - The
Bombay Chronicle, edisi 4 Januari 1949.
“Maramis mengatakan
bahwa masalah Indonesia menyangkut seluruh dunia Muslim dan bahwa pemerintah
Republik menghargai bantuan sukarelawan dari negara-negara Asia,” - Eindhoven
Daily Newspaper, edisi 4 Januari 1949.
Puncaknya
adalah keikutsertaan Mr. A. A. Maramis pada Konferensi Asia Kedua yang diadakan
oleh PM Nehru sebagai respon atas aksi diplomatis perwakilan republik.
Konferensi tersebut diadakan pada 20-25 Januari 1949 di Delhi. Konferensi
kemudian menghasilkan delapan butir resolusi untuk Dewan Keamanan PBB. Isinya
antara lain berupa pemulihan pemerintahan Indonesia, pembentukan pemerintahan
peralihan, penarikan mundur pasukan Belanda, dan pengembalian kedaulatan
Indonesia pada 1 Januari 1950. Resolusi ini menyeret Belanda untuk kembali
duduk di meja perundingan, sampai ke Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23
Agustus-2 November 1949.
Ketua PDRI
Mr. Syafrudin Prawiranegara menyampaikan telegram kepada Mr. A.A. Maramis
setelah mendengar hasil resolusi konferensi. ” Atas perasaan solidariteit
dengan negara-negara yang ikut konferensi itu kami menerima resolusi itu dengan
penuh rasa tanggung jawab,”
Dari
penggalan lain sejarah PDRI, khususnya sejarah perjuangan Diplomasi Mr. A.A.
Maramis dan tim, kita dapat melihat suatu pemandangan sejuk dan menjadi teladan
bagi penerus republik hari ini. Bahwa PDRI itu diperjuangkan oleh semua semua
elemen bangsa dari suku, agama, ras, dan golongan, secara bersama-sama dengan
semangat kebersamaan dan kerjasama yang indah.
PDRI lahir
dari inisiasi pimpinan tinggi kita, dijalankan di Sumatera Barat, dipimpin oleh
seorang begawan dari sunda-banten, dan memiliki menteri luar negeri beragama
kristen dari Manado. Semuanya bekerja tanpa mempersoalkan perbedaan yang
menyelimuti mereka. Bahkan Mr. A.A. Maramis adalah salah satu tokoh yang
memperjuangkan penghapusan kata-kata kewajiban menjalankan syariat islam bagi
para pemeluknya di Piagam Jakarta
Mr. Syafrudin Prawiranegara,
Mr. Teuku M. Hasan, dan Mr. A.A. Maramis
adalah bukti bahwa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia bekerja dalam
keberagaman dan menjadi corak bangsa kita.
Sumber referensi:
Historia. (2022). From
mediakeuangan.kemenkeu.go.id:
https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/article/show/alexander-andries-maramis-diplomat-dalam-situasi-gawat-darurat
Matanasi, P. (2017). From tirto.id:
https://tirto.id/kisah-aa-maramis-dari-minahasa-di-seputar-piagam-jakarta-cq7s
Nasar, M. F. (2021). kemenag.go.id.
From
https://kemenag.go.id/read/hari-bela-negara-dan-refleksi-perjuangan-pemikiran-sjafruddin-prawiranegara-wkgy1
___________________________________________________________
Sumber : instagram.com/dinaskebudayaansumbar/ |
Tidak ada komentar: