Sotoy Review : Menunggu Beduk Berbunyi by Buya Hamka
My rating: 5 of 5 stars
“Menunggu Beduk Berbunyi merupakan kumpulan novelet karya Buya Hamka, yaitu Dijemput Emak dan Menunggu Beduk Berbunyi. Dari kumpulan novelet ini, salah satunya yang dapat kita makna bahwa tidak selamanya berlimpahan materi dapat menghadirkan kebahagiaan yang hakiki”. - Gema Insani (saya membaca untuk terbitan 5/2020)
Buku ini adalah rangkaian tulisan Buya Hamka yang dibukukan kembali oleh Gema Insani. Secara lahiriah, buku ini menarik untuk dibaca dalam satu perjalanan karena ukurannya yang tidak terlalu tebal dan warna sampul yang cukup mencolok. Ilustrasi sampul sebenarnya juga menarik dan senada dengan buku rangkaian tulisna Buya Hamka yang dibukukan kembali oleh Gema Insani.
Dijemput Mamak dan Menunggu Beduk Berbunyi adalah dua cerita yang tidak berhubungan. Baik secara tokoh maupun lini masa. Namun kedua memiliki satu benang merah yang sama. Buya Hamka mengkritik kaumnya. Dan kritik tersebut masih relevan hingga saat ini.
Dijemput Mamak adalah kritik Buya terhadap kebiasan keluarga besar di Minang Kabau yang telambangkan pada rumah gadang. Kebiasan yang dikritik adalah keluarga besar terlalu ikut campur terhadap kehidupan rumah tangga kecil anak kemenakannya. Dan kritik terhadap sindir-menyindir-iri-dengki yang harus kita akui masih ada di tengah kehidupan kita. Hal-hal tersebut berakhir dengan kesedihan terhadap keluarga kecil anak kemenakan. Hal yang sama yang dialami oleh Zainudin dan Hayati.
Menunggu Beduk Berbunyi adalah kritik Buya Hamka terhadap kaumnya yang suka mengucilkan seseorang dan tidak mau membuka dialog dengan orang yang berseberangan pendapat dengannya.
Untuk tulisan Buya Hamka, tidaklah pantas saya berkomentar dan berkritik. Namun saya menemukan beberapa kata dalam bahasa minang yang diserap menjadi salah dalam penulisan ini.
Bagi saya pribadi, kisah cinta Musa dan Ramah pada cerita Dijemput Mamak, jauh lebih mengiris bawang (mencurahkan air mata) dari pada kisah Zainudin - Hayati.
Tidak ada komentar: